Majelis Tarjih dan Tajdid - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Tarjih dan Tajdid
.: Home > Artikel

Homepage

Fikih Tata Kelola Organisasi Laba

.: Home > Artikel > Majelis
12 April 2012 17:55 WIB
Dibaca: 8935
Penulis :

Fikih Tata Kelola Organisasi Laba:

Sebuah Pengantar[*]

 

Masyhudi Muqorobin[†]

masmubin@yahoo.com

 

Bismillahirrahmanirrahim

 

1.     Pendahuluan

Seluruh sumberdaya, baik sumberdaya manusia (SDM) ataupun sumberdaya alam (SDA) adalah mutlak milik Allah s.w.t. Semuanya diciptakan dalam suasana keseimbangan yang harmonis. Untuk menjaga keharmonisan tersebut, Allah memilih manusia menjadi pengelolanya, atau yang lebih dikenal sebagai khalifah fil-ardh (khalifah dimuka bumi). Karenanya manusia harus mengemban amanah pengelolaan alam semesta dengan sumberdayanya ini sebaik mungkin, sesuai dengan kehendak Allah yang memberikan amanah. Manusia diciptakan dan dipilih oleh Allah sebagai makhluk terbaik sebagaimana tertera dalam surat at-Tin [95]: 4-6 sebagai berikut:

“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami campakkan mereka ke dalam tempat yang serendah-rendahnya, kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih, maka bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya.”

 

Agar manusia dapat mengemban amanah dengan baik, maka manusia harus memenuhi setidaknya dua prasayarat utama, yaitu beriman kepada Allah dan melaksanakan amal shalih sepanjang hidupnya. Perwujudan amal shalih dalam kehidupan bisnis dan perusahaan dapat dilaksanakan dengan mengacu prinsip-prinsip dasar yang kemudian dikembangkan menjadi pedoman pelaksanaan yang lebih operasional.

 

2.     Tujuan Organisasi Laba

Allah menciptakan semua makhluk di muka bumi ini hany auntuk mengabdi kepada-Nya

“Dan tidaklah aku jadikan jin danmanusia kecuali untk mengabdi kepada-Ku”

 

Pengabdian ini ilaksanakan dalam rangka mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Dengan demikian, setiap Muslim menjadikan pencapaian dunia nya sebagai tujuan antara, sarana atau kendaraan untuk mencapai kesejahteraan akhirat, (lihat Gambar 1 pada lampiran). Hal ini juga diungkapkan oleh Allah dalam surat al-Qashash [28]: 77

 

 

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

 

3.     Penciptaan Prakondisi Tata Kelola Organisasi yang Baik

Agar pelaksanaan tata kelola organisasi laba atau perusahaan dapat diwujudkan secara bersih dan baik, maka diperlukan prakondisi bahwa semua pihak dalam masyarakat dapat mendukung terlaksananya Tata Kelola Perusahaan yang baik, yang dalam terminologi modern disebut good corporate governance (GCG), sebagaimana hadits Rasulullah s.a.w yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r,a. yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai apabila seseorang melakukan sesuatu pekerjaan dilakukan dengan baik.”Pihak-pihak yang dimaksudkan meliputi:

a.         Pemerintah;

b.        Ulama;

c.         Dunia usaha,

d.        Organisasi kemasyarakatan;

e.         Anggota masyarakat lainnya

 

3.1  Pemerintah

Pemerintah diharapkan dapat menciptakan sistem politik yang stabil disertai dengan sistem ekonomi yang mendukung terlaksananya Tata Kelola Perusahaan yang bersih dari segala bentuk pelanggaran. Dalam hal ini pemberantasan korupsi menjadi agenda utama Pemerintah. Pemberantasan korupsi sekaligus juga mendukung terciptanya iklim usaha yang lebih kondusif. Pemerintah sebagai umara memiliki peran yang penting sebagai pihak yang harus ditaati oleh semua komponen bangsa sejalan dengan ketaatan semua komponen kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk itu apabila terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh Pemerintah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka gugurlah kewajiban taat kepadanya, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa [4]: 59.

 

3.2  Ulama

Ulama adalah pewaris para Nabi dan Rasul dalam menyampaikan amanah risalah da’wah, yang sekaligus menjadi panutan ummat dalam berbagai aktifitas kehidupan, baik kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Karenanya, ulama memberikan uswah (contoh keteladanan dalam setiap tingkah lakunya) kepada masyarakat. Islam mengajarkan kepada kita bahwa segala bentuk kegiatan setiap Muslim adalah ibadah.

 

Ibadah yang bersifat khusus (mahdhah) merupakan urusan setiap Muslim dengan Tuhannya, yang sepintas terlihat hanya sebagai urusan akhirat, padahal sesunggunya ia juga memiliki dimensi duniawi dalam pembentukan karakter kepribadian seorang Muslim. Sementara ibadah umum (ghairu mahdhah) merupakan semua aktifitas manusia, termasuk aktifitas bisnis dan korporasi dalam dunia usaha, selama aktifitas tersebut dilakukannya dengan kesadaran bahwa aktifitas tersebut merupakan bagian dari perintah Allah dan Rasul-Nya, misalnya sebagai bagian dari mencari pendapatan bagi kelangusngan hidupnya di dunia (ma’isyah) disertai niat ikhlash mencari ridha Allah.

 

3.3  Dunia Usaha

Dunia usaha memiliki peran dan fungsi untuk menciptakan sistem Tata Kelola Perusahaan yang baik, bersih dan professional. Dalam kaitannya dengan bisnis yang Islami, maka kalangan dunia usaha memiliki peran untuk menciptakan iklim usaha baik secara internal setiap perusahaan maupun hubungan antar perusahaan dan semua komponennya dalam dunia usaha secara umum, sesuai dengan ajaran Islam. Dunia usaha memiliki peran signifikan dalam memakmurkan bumi sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT (Hud: 61) yang artinya: “... Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do`a hamba-Nya)."

 

3.4   Organisasi Kemasyarakatan

Organisasi kemasyarakatan termasuk Persyarikatan Muhammadiyah memiliki peran dan fungsi edukasi terhadap masyarakat untuk turut menciptakan situasi yang kondusif bagi terlaksananya sistem Tata Kelola Perusahaan yang baik, melalui interaksi berbagai pihak dalam masyarakat. Organisasi dapat memberikan panduan kepada anggotanya dan masyarakat, khususnya dunia usaha agar proses bisnis yang dilaksanakannya sesuai dengan aturan ajaran Islam.

 

3.5  Masyarakat

Masyarakat memiliki peran dan fungsi yang cukup penting dalam menciptakan suatu Tata Kelola Perusahaan melalui interaksinya secara luas dengan berbagai komponen dalam masyarakat. Masyarakat memiliki fungsi dan peran sebagai social control, apabila terjadi penyimpangan di dunia usaha, melalui produk dan proses produksi, terutama yang secara langsung berdampak positif (external benefits) maupun negatif (external costs) pada masyarakat. Masyarakat dapat mengekspresikan peran social contro tersebut melalui berbagai cara misalnya protes secara langsung kepada entitas usaha yang dalam proses produksinya maupun produknya dapat merugikan masyarakat, atau melaporkannya kepada pemerintah dan institusi-institusi yang relevan.

 

4.     Asas-asas Tata Kelola Perusahaan

Tata kelola perusahaan dalam Islam harus mengacu pada prinsip-prinsip atau dasar asas berikut:

a.         Tauhid

b.        Taqwa dan ridha

c.         Equilibrium (keseimbangan dan keadilan)

d.        Kemaslahatan

 

            4.1.     Tauhid

Tauhid merupakan prinsip dasar tertinggi dari semua kegiatan hidup ummat Islam, dan menjadi pegangan setiap Muslim tanpa membedakan madzhab ataupun aliran yang dianutnya. Tauhid adalah prinsip tentang ke-Esa-an Tuhan yang mengajarkan kepada manusia bahwa Tuhan adalah Satu atau Maha Tunggal. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak memerlukan bantuan dari manapun atau siapapun. Dia tidak berputera dan tidak pula diputerakan. Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya.

 

Iman atau keyakinan terhadap prinsip Tauhid merupakan bagian utama dari sistem keyakinan Muslim yang tertuang dalam Rukun Iman sebagai komponen penting dalam ajaran tentang keyakinan yang disebut ‘aqidah. Dalam sistem ‘aqidah, iman kepada Allah menjadi pilar pertama dan paling penting dalam rukun iman, yang kemudian diikuti oleh keimanan kepada para malaikat, kitab-kitab, nabi dan rasul, hari akhir, dan iman kepada taqdir (qadha dan qadar). Prinsip Tauhid mengajarkan kepada manusia untuk senantiasa mengingat bahwa dirinya hanyalah makhluk Allah yang harus taat kepada-Nya dan melaksanakan segala perintah serta meninggalkan larangan-Nya.

 

            4.2.    Taqwa dan Ridha

Prinsip atau asas taqwa dan ridha menjadi prinsip utama tegaknya sesbuah institusi Islam dalam bentuk apapun asas taqwa kepada Allah dan ridha-Nya. Tata kelola bisnis dalam Islam juag harus ditegakkan diatas fondasi taqwa kepada Allah dan ridha-Nya (at-Taubah: 109).

 

Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

 

            4.3.    Keseimbangan (tawazun) dan Keadilan (‘adalah)

Tawazunatau mizan (keseimbangan) dan ‘adalah (Keadilan) adalah dua buah konsep tentang equilibrium dalam Islam. Tawazun lebih banyak digunakan dalam menjelaskan fenomena fisik, sekalipun memiliki implikasi sosial, yang kemudian sering menjadi wilayah al-‘adalah atau keadilan sebagai manifestasi Tauhid khusunya dalam konteks sosial kemasyarakatan, termasuk keadilan ekonomi dan bisnis. Allah SWT berfirman dalam surat ar-Rahman ayat 7-9,

 

 

“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”

 

Penciptaan alam semesta merupakan sebuah karya kesempurnaan ciptaan Ilahi yang tiada taranya, dalam sebuah bingkai keseimbangan dan keharmonisan. Keseimbangan dan keharmonisan alam dan sosial ini dapat diturunkan dari asas atau prinsip al-‘adl, al-qisth danal-mizan (al-Maidah: 8).

 

 

Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).

Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.

 

Untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan ini, baik dalam bentuk fisik maupun sosial, diperlukan “institusi” perwakilan Tuhan di muka bumi. Untuk itu ditetapkanlah manusia menjadi khalifah yang penunjukannya merupakan sebuah kehormatan bagi manusia (al-Baqarah: 30). Keseimbangan alam semesta baik lingkungan fisik maupun keseimbangan sosial harus dijaga sedemikian rupa sehingga dapat memperbaiki dan mengembalikan kerusakan yang sering kali dilakukan oleh manusia kembali pada posisi equilibrium (ar-Rum: 41): “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

 

            4.4.    Kemaslahatan (maslahah)

Penegakan otoritas kepemimpinan dan keagamaan dalam rangka  menjaga keharmonisan fisik maupun sosial, dimaksudkan pula untuk memenuhi tujuan diterapkannya syari’ah Islam (maqashidusy-syari’ah) yaitu mencapai kemaslahatan ummat manusia secara keseluruhan, sebagai perwujudan dari kehendak Islam kenjadi rahmat bagi semesta alam.

 

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

 

Tujuan diterapkannya ajaran Islam dalam dunia bisnis, secara umum telah dikemukakan didepan, yakni untuk mencapai maslahah dalam kehidupan dunia dan akhirat. Secara khusus, para ulama diantaranya yang relatif paling banyak membahas adalah Imam Ghazali, Imam Syatibi dan Imam Izzuddin Abdus-Salam telah mengkalisifikasikan tujuan ini menjadi tiga kategori, yaitu kebutuhan primer atau dasar (dharuriyat), kebutuhan sekunder (hajiyyat) untuk membuat kehidupan lebih sempurna, dan kebutuhan tersier agar kehidupan menjadi indah (tahsiniyyat). Adapaun kebutuhan dasar masih dapat dirinci menjadi kebutuhan dasar yang lima (adh-dharuruyyat al-khamsah atauadh-dharuruyyat al-asas) mencakup:

a)      pemeliharaan agama (hifdzud-din), yang terkait pula dengan pemeliharaan sarana dan prasarana ibadah dan ketentuan lainnya dalam ajaran Islam;

b)     pemeliharaan jiwa (hifhzun-nafs) yang berimplikasi pada aspek kesehatan;

c)      pemeliharaan akal (hifhzul-‘aql), melalui pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan’

d)     pemeliharaan keturunan (hifhzun-nasl), melalui pemeliharaan kesehatan’ dan

e)      pemeliharaan harta benda (hifhzul-maal) termasuk dalam hal pengembangan ekonomi dan bisnis.

 

5.     Etika Bisnis Islami

Rasulullah SAW diutus oleh Allah memperbaiki aklhaq manusia sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:

 

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُ تَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْـلاَقِ

Hanyasanya, aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlaq manusia.

Akhlaq yang biasa diterjemahkan menjadi etika, moralitas atau budi pekerti, lebih dari sekedar etika atau moralitas dalam pengertian umum, melainkan memiliki makna keterkaitan hubungan timbal-balik antara manusia sebagai makhluq dengan Khaliqnya. Manusia senantiasa merasa diawasi oleh al-Khaliq dalam setiap urusan, termasuk urusan bisnis.

 

Pelaksanaan bisnis dalam Islam hendaknya juga mengikuti pelaksanaan bisnis Rasulullah SAW yang merupakan iplementasi dari sifat-sifat beliiau yang dikategorikan oleh para ulama menjadi empat ShiFAT sebagai kepanjangan dari:Shiddiq, Fathonah, Amanah danTabligh.

               a.  Shiddiqberarti benar, yaitu senantiasa menyatakan dan melakukan kebenaran dan kejujuran dimanapun berada dan kepada siapapun. Implikasinya dalam berbisnis adalah tegaknya kejujuran dan menghindari segala bentuk penipuan, penggelapan dan perilaku dusta.

               b. Fathanahberarti cerdas, yaitu mampu berpikir secara jernih dan  rasional serta mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Dalam dunia bisnis sifat fatanah ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menetapkan hal-hal dan atau kegiatan yang halal, tayib, ikhsan dan tawazun

                c.  Amanahberarti dapat dipercaya, yaitu menjaga kepercayaan yang diberikan oleh Allah dan orang lain. Dalam berbisnis, pemberian kepercayaan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas atas kegiatan-kegiatan bisnis.

               d. Tablighberarti menyampaikan, yaitu menyampaikan Risalah dari Allah tentang kebenaran yang harus ditegakkan di muka bumi. Kebenaran Risalah ini harus diteruskan oleh ummat Islam dari waktu ke waktu agar Islam benar-benar dapat menjadi rahmat bagi alam semesta. Dalam dunia bisnis, penyampaian risalah kebenaran dapat diwujudkan dalam bentuk sosialisasi praktik-praktik bisnis yang baik dan bersih, termasuk perilaku bisnis Rasulullah Saw dan para sahabatnya.

 

Keempat sifat ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya yang merupakan salah satu perwujudan dari iman dan takwa. 

 

Pelaksanaan bisnis yang baik haruslah dengan suatu perencanaan yang sistematis, dalam rentang waktu kini untuk mempersiapkan masa depan, baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjang, hinga di Hari Akhir nanti (al-Hasyr: 18). Perencanaan bisnis juga berbasis pada evaluasi masa lalu (fasiiru fil ardhi fandhuuru kaifa kaana ‘aaqibatul mukadzdzibiin) yang artinya: “berjalanlah dimuka bumi, niscaya engkau akan melihat akibat dari orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah.”  Oleh karenanya, operasi perushaan dilakukan melalui proses dan cara yang benar seperti perdagangan atas dasar kerelaan bersama atau ‘an taradhin minkum, serta tidak melalui jalan yang bathil, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa: 29 yang artinya:

 

 

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan dasar suka sama suka....”

 

Islam mengajarkan bahwa manusia dalam berusaha, harus melepaskan diri dari hal-hal yang dilarang oleh Allah, atau haram dan bathil. Hal-hal yang dilarang in meliputi bisnis dengan cara dan untuk hal-hal berikut:

a.    Riba

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah/2: 275)

b.   Maysir

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (al-Maidah/5: 90-91)

c.    Gharar

 “...dan janganlah kamu mencurangi harta orang lain...” (al-A’raf/7:85)

“Sesungguhnya Nabi S.A.W melarang daripada jual beli gharar”.(riwayat Muslim)

d.   Zhulm

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim” (al-Baqarah/2: 193)

e.    Tabdzir

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”(al-Isra/17: 26-27).

f.     Risywah

“...(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim (dengan menyuapnya), supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu secara batil, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah/2: 188) dan

g.   maksiyat

“...tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaantetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kemaksiayatan(Al Hujurat/49: 7);

 

Lebih lanjut, berdasarkan kaidah fiqh yang disepakati oleh banyak ulama, segala hal dalam bermuamalah pada dasarnya adalah dibolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya (al-ashlu fi al-mu’amalah al-ibaahah illaa an-yadulla daliilaan ‘alaa tahriimihaa).

 

Dari keempat ShiFAT Rasulullah SAW yang wajib diteladani dan larangan yang wajib dijauhi dalam bisnis yang Islami (syar’i), maka istilah umum dalam Good Corporate Governance (GCG) juga dapat diterpakan pada tata kelola bisnis Islami, yang biasa dikenal dengan TARIF (Transparency, Accountability, Responsibility, Independence danFairness) atau di-Indonesiakan menjadi TARIK (Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi dan Kewajaran)

 

Dalam Draft Umum Pedoman Good Governance Bisnis Syariah (GGBS) oleh Tim Penyusun yang dibentuk oleh KNKG, TARIF atau TARIK ini dijelaskan sebagai berikut (untuk detailnya lihat Lampiran 2):

 

                         a.       Transparansi

Berdasarkan prinsip syariah yang ditegaskan dalam surat al-Baqarah/2: 282 “...dan transparankanlah (persaksikanlah) jika kalian saling bertransaksi...”, dan berdasarkan hadits yang menyatakan “... barang siapa yang melakukan ghisy (menyembunyikan informasi yang diperlukan dalam transaksi) bukan termasuk umat kami”, maka semua transaksi harus dilakukan secara transparan. Tranparansi (transparency) mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan informasi yang memadai dan mudah diakses oleh pemangku kepentingan. Transparansi diperlukan agar pelaku bisnis syariah menjalankan bisnis secara objektif dan sehat. Pelaku bisnis syariah harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan yang sesuai dengan ketentuan syariah.

 

                         b.      Akuntabilitas

Akuntabilitas merupakan asas penting dalam bisnis syariah sebagaimana tercermin dalam surat  al-Isra/17: 84 yang artinya “Katakanlah setiap entitas bekerja sesuai dengan posisinya dan Tuhan kalian yang lebih mengetahui siapa yang paling benar jalanya diantara kalian”. dan dalam ayat 36 yang artinya “...dan janganlah kamu berbuat sesuatu tanpa pengetahuan atasnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban”. Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya. Pelaku bisnis syariah harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu bisnis syariah harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan pelaku bisnis syariah dengan tetap memperhitungkan pemangku kepentingan dan masyarakat pada umumnya. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

 

                         c.       Responsibilitas

Dalam hubungan dengan asas responsibilitas (responsibility), pelaku bisnis syariahharus mematuhi peraturan perundangan dan ketentuan bisnis syariah, serta melaksanakan tanggung-jawab terhadap masyarakat dan lingkungan. Tanggungjawab atas perbuatan manusia dilakukan baik di dunia maupun di akhirat, yang semuanya direkam dalam catatan yang akan dicermatinya nanti, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Isra/17: 14 yang artinya: “Bacalah kitabmu (laporan pertanggungjawabanmu). Cukuplah kamu pada waktu itu mengevaluasi dirimu sendiri.” Akan lebih baik ditambahkan (QS.At-taubah/9:105) Dengan pertanggungjawaban ini maka entitas bisnis syariah dapat terpelihara kesinambungannya dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai pelaku bisnis yang baik (good corporate citizen).

 

                        d.      Independensi

Dalam hubungan dengan asas independensi (independency), bisnis syariah harus dikelola secara independen sehingga masing-masing pihak tidak boleh saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Independensi terkait dengan konsistensi atau sikap istiqomah yaitu tetap berpegang teguh pada kebenaran meskipun harus menghadapi risiko. Dalam surat Fushshilat/41: 30 Allah Swt berfrman: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". Independensi merupakan karakter manusia yang bijak (ulul al-bab) yang dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 16 kali, yang diantara karakternya adalah “Mereka yang mampu menyerap informasi (mendengar perkataan) dan mengambil keputusan (mengikuti) yang terbaik (sesuai dengan nuraninya tanpa tekanan pihak manapun) (az-Zumar/39: 18).

 

                         e.       Kewajaran dan Kesetaraan

Kewajaran dan kesetaraan (fairness) mengandung unsur kesamaan perlakuan dan kesempatan. Allah Swt berfirman dalam surat al-Maidah/5: 8, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap orang (golongan) lain menyebabkan kamu tidak berlaku adil. berlaku adillah kamu karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah karena Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” Fairness atau kewajaran merupakan salah satu manifestasi adil dalam dunia bisnis. Setiap keputusan bisnis, baik dalan skala individu maupun lembaga, hendaklan dilakukan sesuai kewajaran dan kesetaraan sesuai dengan apa yang biasa berlaku, dan tidak diputuskan berdasar suka atau tidak suka. Pada dasarnya, semua keputusan bisnis akan mendapatkan hasil yang seimbang dengan apa yang dilakukan oleh setiap entitas bisnis, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam usul fikih terdapat sebuah kaidah yang diturunkan dari sabda Rasulullah Saw, al-kharaj bidh-dhaman yang artinya bahwa usaha adalah sebanding dengan hasil yang akan diperoleh, atau dapat pula dimengerti sebagai risiko yang berbanding lurus dengan pulangan(return). Dalam melaksanakan kegiatannya, Pelaku bisnis syariah harus senantiasa memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan, berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

 

6.     Pemangku Kepentingan Organisasi Laba

Pemangku kepentingan merupakan pihak-pihak, baik internal maupun eksternal, yang harus dipenuhi kepentingannya oleh perusahaan, karena memiliki kepentingan terhadap kelangusngan operasi perusahaan dan mereka yang terpengaruh secara langsung oleh keputusan strategis dan operasional perusahaan, yang antara lain terdiri dari karyawan, partner investasi bagi hasil atau profit and loss sharing, mitra bisnis, dan masyarakat terutama sekitar tempat usaha organisasi klaba berlokasi.

 

Pemenuhan kepentingan dilakukan melalui pemberian manfaat dan maslahat antara perusahaan dengan para pemangku kepentingan. Kondisi saling memberi dan menerima manfaat dan maslahat ini penting bagi kelangsungan bisnis (sustainability) perusahaan, maupun upaya memberikan nilai tambah bagi pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan dalam bisnis syariah terdiri dari pemangku kepentingan yang ikut menanggung risiko usaha sebagaimana pemegang saham, dan pemangku kepentingan  yang tidak menanggung risiko usaha. Pemberian manfaat dan maslahat kepada para pemangku kepentingan dapat diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan bisnis yang direkomendasikan oleh ajaran Islam yaitu transaksi yang berbasis pada keadilan.

 

Antara perusahaan dengan pemangku kepentingan harus terjalin hubungan yang sesuai dengan asas kewajaran dan kesetaraan (fairness) berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi masing-masing pihak. Agar hubungan antara perusahaan dengan pemangku kepentingan berjalan dengan baik, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

                    a.  Perusahaan dapat melakukan kerjasama investasi berbasis bagi hasil atau profit and loss sharing. Investasi berbasis bagi hasil ini dapat berbentuk musyarakah atau mudharabah dengan berbagai variasi skemanya.

                    b.  Perusahaan menjamin tidak terjadinya diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, dan gender serta terciptanya perlakuan yang adil dan jujur dalam pengembangan karir karyawan sesuai dengan potensi, kemampuan, pengalaman dan keterampilan masing-masing.

                    c.  Perusahaan dan mitra bisnis harus bekerja sama untuk kepentingan kedua belah pihak atas dasar prinsip saling menguntungkan(mutual benefits) atau ta’awun.

                   d.  Perusahaan harus memberikan pelayanan yang terbaik(ihsan)  kepada pengguna produk dan jasa perusahaan, masyarakat sekitar perusahaan serta melakukan pelayanan sosial sebagai bagian dari corporate social responsibility (CSR).

 

7.     Praktek Tata Kelola Organisasi Laba

Dalam prakteknya, tata kelola organisasi bisnis Islami atau Syariah memerlukan sistem penataan yang teratur dan tidak berjalan sendiri-sendiri dalam mengatur pencapaian tujuan organisasi sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Ali Imran/3: 103 yang artinya: “Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah secara bersama-sama, dan janganlah kamu bercerai berai......” Rasulullah Saw juga bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai seseorang yang melakukan pekerjaan dengan baik dan cakap (itqan)” (H.R. Muslim dari ‘Aisyah), dan pada riwayat yang lain dinyatakan dengan kata “ihsan” atau yang terbaik. Menurut Sayyidina Ali r.a., sebuah kebenaran tanpa sistem keteraturan akan dikalahkan oleh kebatilan yang teratur (haqqun bilaa nizhamin yaghlibuhu bathilun binizhamin). Dengan demikian, entitas bisnis syariah harus dijalankan secara teratur, demikian pula pelaksanaan Fikih Tata Kelola Organisasi Laba.

 

Secara umum beberpa hal yang terkait dengan praktek bisnis syariah atau tata kelola bisnis yang baik mecakup hal-hal berikut:

 

7.1.   Kepemilikan.

Dalam Islam, konsep kepemilikan dikembalikan kepada Allah Swt. Dialah pemilik yang sebenarnya dan mutlak atas alam semesta beserta isinya. “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi...” (al-Baqara/2: 284). Semuanya dipersembahkan untuk kemaslahatan manusia yang telah dipilh-Nya sebagai khalifah untuk mengelola sumberdaya di alam semesta ini dengan sebaik-baiknya. Allah Swt memberikan kewenangan kepada setiap orang untuk memiliki dan menguasasi sumberdaya berdasarkan firman-Nya dalam surat an-Nur/24: 33 "Danberikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada kalian”. Dalam pelaksanaannya, kepemilikan harus memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.

 

7.2.   Pelaksanaan bisnis secara operasional

Pengelolaan sumberdaya dengan baik (secara optimal) dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, termasuk kegiatan bisnis dan perdagangan pada umumnya. Firman Allah Swt dalam  surat an-Nisa/4: 29 menyatakan: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu....”. Pengorganisasian pelaksanaan bisnis secara profesional disesuaikan dengan bentuk hukum bisnis yang dipilih oleh pelaku bisnis.

 

7.3.   Pengawasan dan nasehat

Dalam bisnis syariah, Allah menjadi pengawas utama. Hal ini berimplikasi pada kehati-hatian manusia dan saling memberikan nasehat antar sesamanya dalam perilaku bisnisnya serta tidak melakukan berbagai tindak kejahatan dan kecurangan, karena mereka akan mempertangungjawabkan perbuatannya di dunia dan di akhirat kelak (al-Muthaffiffin/83: 1-4). “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,” Pengorganisasian pengawasan dalam berbisnis juga disesuaikan dengan bentuk hukum bisnis yang dipilih oleh pelaku bisnis

 

7.4.   Pengawasan syariah

Dalam hal pengawasan ketaatan terhadap syariah (shariah compliance), setiap bisnis syariah harus menunjuk organ pengawas untuk memastikan bahwa proses maupun produk bisnis sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, sesuai firman Allah Swt.: “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (a-Nisa/4: 59).

 

Dalam prakteknya, entitas bisnis atau organisasi laba terbagi namun tidak terbatas pada sejumlah aktifitas, sebagaimana dirumuskan dalam draft final GGBS KNKG berikut.

 

               a.       Produksi

Produksi merupakan awal dari kehidupan ekonomi. Allah telah menganugerahkan berbagai sumberdaya alam untuk manusia dan dianjurkan agar mendayagunakannya. Kerja merupakan unsur utama produksi guna memenuhi hak hidup, hak keluarga, dan masyarakat, sehingga mendorong fungsi produksi dalam mendayagunakan sumberdaya insani dalam mencapai full employment.

 

Islam menghargai kerja sebelum menghargai produknya, sehingga aktivitas produksi yang padat karya lebih disenangi daripada padat modal, karena model ini lebih memberdayakan produsendan melibatkan lebih banyak orang.Faktor produksi merupakan masukan (input) dalam proses produksi untuk menghasilkan keluaran (output) berupa barang komoditas atau jasa. Selisih atas nilai uang antara biaya produksi dengan hasil penjualan output tersebut merupakan keuntungan atau laba yang diperkenankan dalam ajaran Islam, selama bebas dari unsur eksploitasi (zhulm), baik dalam hal pembelian dan perolehan input maupun penjualan output. Faktor produksi minimal terdiri dari modal dan tenaga kerja.

                          i.        Modal

Islam menganjurkan para pemilik modal untuk mengambil keuntungan dari proses produksi seacara adil. Setiap bentuk penyertaan modal perlu mendapatkan bagian keuntungan yang wajar.

                         ii.       Tenaga kerja

Para pekerja perlu memperoleh jaminan atas terpenuhinya kebutuhan dasar, yaitu pangan, papan dan pendidikan (agama dan umum) melalui penetapan Upah Minimum Regional (UMR) dan mendapat bagian tertentu secara adil dari keuntungan perusahaan.

                        iii.      Faktor produksi lainnya

Faktor produksi lainnya seperti tanah, teknologi, ketrampilan manajerial, intelektual dan ketrampilan khusus lainnya perlu mendapatkan bagian dari hasil produksi secara adil, merujuk pada ketentuan yang disepakati.

 

               b.           Distribusi

                            i.      Distribusi mencakup aspek penyebaran sumber daya seperti komoditas dengan atau tanpa mempergunakan uang.

                           ii.     Distribusi pendapatan

Distribusi pendapatan dalam Islam mencakup distribusi berbasis sumbangsih (contribution) dan kebutuhan (needs).

(a)   Distribusi pendapatan berbasis sumbangsih merupakan bentuk distribusi kepada setiap anggota masyarakat melalui kontra prestasi atas karya yang mereka lakukan seperti bekerja, berdagang dan berbagai jenis profesi lainnya.

(b)   Distribusi pendapatan berbasiskebutuhan merupakan bentuk distribusi pendapatan kepada mereka yang tidak dapat memberikan kontribusi, dalam bentuk zakat, infaq, shadaqah dan sebagainya

                          iii.    Distribusi barang dan jasa

Distribusi barang dan jasa merupakan penyaluran produk komoditas di pasar melalui proses jual beli atau perdagangan, atau pelepasan melalui hibah atau hadiah kepada orang ataupihak lain tanpa pertukaran. Setiap praktik yang mengarah pada penyempitan saluran distribusi seperti hoarding atau ihtikar harus dihindari.

 

                c.           Perdagangan

                            i.      Perdagangan adalah proses pertukaran komoditas baik dengan komoditas lain (barter) atau dengan pertukaran komoditas dengan uang.

                           ii.     Dalam kasus barter, agar terhindar dari unsur riba, maka harga pasar menjadi patokan dalam menentukan kuantitas masing-masing komoditas.

 

               d.           Konsumsi

Konsumsi merupakan faktor pemicu fungsi produksi dan distribusi yang akan menggerakkan roda perekonomian, sehingga menimbulkan tabiat produsen yang berusaha mengeksploitasi kebutuhan(needs) konsumen dan mengubahnyamenjadi demand. Islam menuntut umatnya untuk mengkonsumsi sesuatu yang memberikan manfaat dan maslahat serta menghindarikemubaziran atau pemborosan.

 

               e.           Keuangan dan Perbankan

Aktivitas perbankan syariah harus terkait erat dengan aktifitas sektor riil, karena pembiayaan yang disalurkan mensyaratkan adanya underlying assets, sehingga terhindar dari tindakan gharar dan maysir atau berbagai bentuk spekulasi lainnya yang merugikan pihak lain. Sedangkan hubungan dengan nasabah lebih bersifat kemitraan

 

                f.            Asuransi

Praktek asuransi dilakukan dengan model saling menanggung (takaful) secara kolektif, sehingga peran perusahaan asuransi hanya sebagai pengelola dari kepesertaan para anggotanya.

 

               g.           Pasar Modal

Perusahaan yang dapat diakui sebagai emiten untuk pasar modal syariah ditetapkan berdasarkan objek bisnisnya yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, toleransi pengahasilan non-halal dengan indikasi maksimal 10 % atau mengikuti peraturan perundangan yang berlaku.

 

               h.           Jasa non-keuangan

Jasa non-keuangan merupakan komoditas yang dapat dapat diperdagangkan selama unsur-unsur yang mengarah pada keharaman dari proses maupun produk jasa tersebut dapat dihindari.

 

Wallahu a’lam bissawab

Lampiran 1

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Lampiran 2.

 

               a.    Transparansi meliputi:

                              i.            Pelaku bisnis syariah harus menyediakan informasi tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh semua pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.

                             ii.           Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi organisasi, kondisi keuangan, susunan pengurus, kepemilikan, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GGBS serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi entitas bisnis syariah.

                            iii.          Prinsip keterbukaan yang dianut oleh pelaku bisnis syariah tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan organisasi sesuai dengan peraturan perundangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.

                            iv.          Kebijakan organisasi harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada semua pemangku kepentingan.

 

               b.           Akuntabilitas meliputi:

                              i.       Pelaku bisnis syariah harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing organ dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai, dan strategi bisnis syariah.

                             ii.      Pelaku bisnis syariah harus meyakini bahwa semua elemen organisasi dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GGBS.

                            iii.     Pelaku bisnis syariah harus memastikan adanya sistem pengendalian yang efektif dalam pengelolaan organisasi.

                            iv.     Pelaku bisnis syariah harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran organisasi yang konsisten dengan sasaran bisnis yang digeluti, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).

                             v.      Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap elemen organisasi dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis syariah dan pedoman prilaku (code of conduct) yang telah disepakati.

                            vi.     Pelaku bisnis syariah harus meyakini bahwa semua prosedur dan mekanisme kerja dapat menjamin kehalalan, tayib, ikhsan dan tawazun atas keseluruhan proses dan hasil produksi

 

2.3.  Responsibilitas meliputi:

                              i.       Pelaku bisnis syariah harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan bisnis syariah dan perundangan, anggaran dasar serta peraturan internal pelaku bisnis syariah (by-laws). 

                             ii.      Pelaku bisnis syariah harus melaksanakan isi perjanjian yang dibuat termasuk tetapi tidak terbatas pada pemenuhan hak dan kewajiban yang yang disepakati oleh para pihak.

                            iii.     Pelaku bisnis syariah harus melaksanakan tanggung jawab sosial antara lain dengan peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar tempat berbisnis, dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. Pelaksanaan tanggung jawab sosial tersebut dapat dilakukan dengan cara membayar zakat, infak dan sadaqah.

 

2.4.  Independensi meliputi:

                              i.       Pelaku bisnis syariah harus bersikap independen dan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif.

                             ii.      Masing-masing organ Perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan peraturan perundangan dan ketentuan syariah, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain.

                            iii.     Seluruh jajaran bisnis syariah harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan uraian tugas dan tanggung jawabnya.

 

2.5.  Kewajaran dan Kesetaraan meliputi:

                              i.       Pelaku bisnis syariah harus memberikan kesempatan pada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan organisasi serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.

                             ii.      Pelaku bisnis syariah harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan.

                            iii.     Pelaku bisnis syariah harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan pegawai, berkarir, dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin (gender) dan kondisi fisik.

                            iv.     Pelaku bisnis syariah harus bersikap tawazun yaitu adil dalam pelayanan kepada para nasabah atau pelanggan dengan tidak mengurangi hak mereka, serta memenuhi semua kesepakatan dengan para pihak terkait dengan harga, kualitas, spesifikasi atau ketentuan lain yang terkait dengan produk yang dihasilkannya.

 

 

 

 

 



[*]Paper ini disusun dalam format Panduan atau Tuntunan, bukan sebuah paper akademik, sebagiannya dipersiapkan menjadi bagian dari Buku Tuntunan Fikih Tata Kelola yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammaidyah. Pemakaian kutipan ayat dan hadits hanya diambil sebagian yang dianggap perlu. Beberapa bagiannya terdapat kutipan dari Draft Pedoman Umum Good Gvernance Bisnis Syariah (GGBS)sedang digodhog pada tahap finalisasi oleh sebuah Tim Penyusun yang dibentuk oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dibawah Kementerian Keuangan, dan kebetulan penulis ditunjuk sebagai drafter sekaligus editor penyelaras Tim. Paper dipresentasikan pada Seminar Nasioanl Tata Kelola dan Rapat Kerja, pada tanggal 22-22 Rabi’ul Akhir 1432H/25-27 Maret 2011M, di Kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Untuk kelengkapan ilmiah dan teoretis berbasis nilai-nilai ajaran Islam, Penulis mempersiapkan artikel lain yang dapat diperbanyak apabila diperlukan, untuk itu silahkan hubungi alamat email penulis tersebut di atas, atau ke Sekretariat Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Jl KHA Dahlan 103 Yogyakarta.

 

[†] Drs. Masyhudi Muqorobin, M.Ec. (IIUMalaysia), PhD. (IIUMalayaisa), Akt. (UGM), adalah anggota pengurus Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, bertugas sebagai Dosen Tetap sekaligus Kepala Program Studi Ilmu Ekonomi, dan Direktur Intrentaional Program for Islamic Economics and Finance (IPIEF) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Selain di UMY, Masyhudi juga menjadi dosen Tidak Tetap ekonomi dan keuangan Islam Program Pasca Sarjana pada beberapa perguruan tinggi seperti Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, School of Business and Management Institut Teknologi Bandung (SBM-ITB) dan International Center for Development in Islamic Finance (ICDIF) LPPI Bank Indonesia, Jakarta . Sebagai konsultan dan peneliti, Masyhudi bergabung dengan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) Kementerian Keuangan, Jakarta; Islamic Economic Forum and Indonesian Development (ISEFID), Jakarta-Kuala Lumpur; dan Center for Islamic Studies in Finance, Economics and Development (CISFED) Jakarta.


Tags: tatakelola , organisasi , laba , tarjih , muhammadiyah
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website