Majelis Tarjih dan Tajdid - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Tarjih dan Tajdid
.: Home > Artikel

Homepage

SISTEM HISAB WAKTU DALAM ISLAM

.: Home > Artikel > Majelis
12 April 2012 17:51 WIB
Dibaca: 16572
Penulis :

SISTEM HISAB WAKTU DALAM ISLAM ·

 

Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA

 

A. Pendahuluan

 

            Kata ‘hisab’ adalah kata Arab yang kemudian diserap oleh bahasa Indonesia tanpa perubahan makna.[1] Secara harfiah ‘hisab’ dalam bahasa Arab berarti perhitungan, pemeriksaan. ‘Yaumul-hisab’, dalam beberapa ayat al-Quran antara lain Q. 38: 26, berarti hari perhitungan, yakni hari kiamat di mana setiap orang akan diperhitungkan segala amalnya yang baik dan yang buruk untuk kemudian diberi ganjaran. Dalam hadis-hadis Nabi saw, hisab banyak digunakan untuk arti perhitungan amal perbuatan manusia di hari kiamat. Namun dalam al-Quran dan al-Hadis, kata ‘hisab’ juga dipakai dalam arti perhitungan waktu. Misalnya firman Allah,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ [10: 5].

     Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi Bulan itu manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui [Q. 10: 5].

 

Juga dalam sabda Rasulullah saw,

 

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ [رواه البخاري ومسلم].

     Artinya: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari[HR al-Bukh±r³ dan Muslim].[2]

Kata na¥subu dalam hadis di atas mengacu kepada makna perhitungan waktu dengan cara melakukan hisab terhadap posisi geometris Bulan dan Matahari. Dalam perjalanan waktu kata hisab digunakan secara lebih luas, meliputi segala macam perhitungan termasuk aritmetika (ilmu hitung).

 

            Dalam makalah ini pembicaraan tentang masalah hisab waktu dalam Islam dibatasi dan diarahkan kepada soal hisab bulan kamariah dan upaya penyatuan sistem organisasi waktu (penanggalan) Islam. Sedangkan hisab waktu salat tidak dibicarakan karena tidak begitu problematis. Berbeda halnya dengan hisab penentuan bulan kamariah dan kaitannya dengan perumusan sistem kalender Islam, yang merupakan salah satu kontroversi panjang di kalangan umat Islam. Selain itu perhatian perlu diarahkan pada masalah hisab bulan kamariah, karena di lingkungan Muhammadiyah, yang digunakan untuk menentukan awal bulan kamariah adalah metode hisab, tidak metode rukyat. Hal ini juga banyak menimbulkan pertanyaan di lingkungan warga Muhammadiyah. Sebab hadis-hadis mengenai perintah rukyat itu jelas, tetapi mengapa yang digunakan justeru hisab?

 

B. Kontroversi Rukyat dan Hisab sebagai Metode Penetapan Awal Bulan

 

            Sebenarnya persoalan hisab waktu bulan kamariah bukan sekedar bagaimana cara menentukan awal bulan kamariah, apakah dengan metode rukyat atau metode hisab? Penyelesaian mengenai masalah itu belumlah akan menyudahi seluruh persoalan. Apabila diandaikan umat Islam seluruh dunia bersepakat menerima rukyat saja untuk penentuan awal bulan atau sepakat menerima hisab tertentu saja, hal itu belum berarti semua problem selesai. Masalah hisab dan rukyat sebagai metode penetapan awal bulan hanya satu dari keseluruhan di dalam upaya penyatuan sistem waktu Islam. Selain masalah penentuan awal bulan, untuk penyatuan sistem pengorganisasian waktu Islam harus dipecahkan pula masalah konsep hari: dari mana dan di mana hari itu dimulai, serta persoalan batas tanggal Hijriah, apakah pada garis tanggal yang berlaku sekarang atau pada tempat lain. Namun demikian masalah hisab dan rukyat memang penting karena ia merupakan langkah pertama dalam perumusan sistem waktu dan penanggalan Islam. 

 

         Pada garis besarnya di kalangan umat Islam ada dua metode yang digunakan dalam menentukan masuknya bulan kamariah, khususnya bulan-bulan ibadah seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Metode pertama, adalah metode rukyat, yaitu dengan melakukan observasi langsung terhadap hilal (anak bulan) pada sore hari ke-29 (malam ke-30) bulan berjalan, pada saat matahari terbenam. Apabila di ufuk barat, di sekitar matahari terbenam, hilal bulan baru dapat dilihat, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai tanggal 1 bulan baru. Akan tetapi apabila hilal pada sore itu tidak terlihat, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai hari ke-30 bulan berjalan, dan awal bulan baru ditetapkan lusa.

 

            Hadis-hadis yang dipegangi sebagai dasar penggunaan rukyat memang banyak, antara lain adalah:

1.   Hadis-hadis yang memerintahkan memulai dan mengakhiri puasa Ramadan ketika telah melihat hilal, antara lain sabda Nabi saw,

إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ [رواه البخاري ، واللفظ له ، ومسلم].

Artinya: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [HR al-Bukh±r³, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim].[3]

Hadis ini memerintahkan agar memulai dan mengakhiri puasa Ramadan dengan rukyat, dan bilamana cuaca berawan sehingga tidak dapat melihat hilal, maka hendaklah dibuat estimasi (perkiraan/perhitungan).

2.   Hadis-hadis yang melarang berpuasa Ramadan dan beridulfitri sebelum melihat hilal,

لاَ تَصُوْمُوْا حَتىَّ تَرَوُا اْلهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتىَّ تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ [رواه البخاري ومسلم]

       Artinya: Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridul fitri sebelum melihat hilal; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [HR al-Bukh±r³ dan Muslim].[4]

 

         Untuk bulan Ramadan ini, pengintaian hilalnya dilakukan pada tanggal 29 Syakban, yaitu pada sore hari Selasa tanggal 10 Agustus 2010 saat matahari tenggelam. Sebenanya posisi Bulan pada sore Selasa 10 Agustus 2010 itu di Indonesia belum memungkinkan hilal dapat dirukyat mengingat posisinya yang masih amat rendah di atas ufuk, yaitu sekitar 2 derajat. Di Yogyakarta posisinya 02º 30’ 03”. Ketinggian posisi Bulan seperti ini menurut kriteria yang diakui secara internasional belum memungkinkan untuk hilal dapat dilihat, meskipun di Indonesia diyakini bahwa untuk ketinggian minimal 2º sudah memungkinkan rukyat. Dalam kenyataan memang selalu banyak yang mengklaim telah berhasil merukyat meskipun bulan berada pada ketinggian minim seperti itu. Klaim seperti ini bukan hanya gejala Indonesia saja, tetapi umum terjadi di banyak negara. Kenyataan juga Kementerian Agama telah mengumumkan bahwa Ramadan 1431 H jatuh hari Rabu 11-08-2010 M.

 

            Para pengguna metode rukyat masih berbeda pendapat tentang macam rukyat itu sendiri. Mereka memperdebatkan apakah rukyat yang sah itu hanyalah rukyat yang dilakukan dengan mata telanjang saja, atau boleh juga rukyat dengan menggunakan alat optik semisal teropong. Kemudian dipermasalahkan juga apakah rukyat harus terjadi dari daratan, sehingga rukyat yang terjadi dari lautan tidak sah? Begitu pula diperdebatkan apakah rukyat hanya boleh dilakukan dari permukaan bumi ataukah bisa juga rukyat melalui satelit?

 

            Metode kedua untuk menentukan awal bulan kamariah adalah metode hisab, yaitu perhitungan astronomis terhadap posisi Bulan pada sore hari konjungsi (ijtimak). Terdapat beragam jenis hisab seperti hisab wujudul hilal, hisab imkanu rukyat, hisab ijtimak sebelum matahari tenggelam, hisab ijtimak sebelum fajar, dan lain-lain sebagainya. Tentang pengertian bermacam hisab ini lihat buku Pedoman Hisab Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhamadiyah.[5]

 

            Di lingkungan Muhammadiyah digunakan apa yang disebut hisab wujudul hilal. Hisab wujudul hilal adalah metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan kamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga para meter (kriteria), yaitu:

a)      telah terjadi konjungsi atau ijtimak,

b)     konjungsi (ijtimak) itu terjadi sebelum matahari terbenam,

c)      pada saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk.

 

Sebagai contoh kita lihat bulan Ramadan, Syawal 1431 H dan Syawal serta Zulkaidah 1432 H:

 

          1. Ramadan 1432 H:

·         Ijtimak menjelang Ramadan 1432 H terjadi pada hari Ahad Kliwon 31 Juli 2011 M pukul 01:41:00 WIB.

·         Tinggi hilal pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta (f= -07°48¢dan l= 110°21¢BT) adalah +06°49¢10²(hilal sudah wujud), dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat Matahari terbenam hilal sudah di atas ufuk.

·         1 Ramadan 1432 H jatuh pada hari Senin Legi, 1 Agustus 2011 M.

 

            Dengan melihat parameter di atas tampak bahwa ketiga kriteria bulan baru menurut hisab wujudul hilal telah terpenuhi pada sore hari ke-29 (malam ke-30) Syakban, Ahad Kliwon 31-07-2011 M. Oleh karena itu malam Senin dan keesokan harinya, yaitu hari Senin 01-08-2011 M, dinyatakan sebagai bulan baru, yaitu 1 Ramadan 1432 H.

 

          2. Syawal 1431 H:

·         Konjungsi (ijtimak) jelang Syawal terjadi hari Rabu 08 September 2010 M.

·         Konjungsi (ijtimak) terjadi pukul 17:31:01 WIB, jadi sebelum matahari tenggelam (matahari tenggelam di Yogyakarta 08-09-2010 M pada pukul 17:40 WIB).

·         Posisi Bulan saat matahari tenggelam di seluruh Indonesia masih negatif (di bawah ufuk) dengan ketinggian di Yogyakarta minus 02°08’ 16”.

 

            Para meter di atas menunjukkan bahwa kriteria bulan baru yang nomor tiga belum terpenuhi. Oleh karena itu malam Kamis dan keesokan harinya, yakni hari Kamis 09-09-2010 M, dinyatakan sebagai hari ke-30 Ramadan 1431 H, dan tanggal 1 Syawal 1431 H jatuh lusa, yaitu hari Jumat 10-09-2010 M. Terlihat di sini usia Ramadan 1431 H berdasarkan hisab wujudul hilal adalah 30 hari.

 

            3. Syawal 1432 h

·         Ijtimak menjelang Syawal 1432 H terjadi pada hari Senin Wage, 29 Agustus 2011 M pukul 10:05:16 WIB.

·         Tinggi hilal pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta (f= -07°48¢dan l= 110°21¢BT) adalah ­+01°49¢57²(hilal sudah wujud) dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat Matahari terbenam hilal sudah berada di atas ufuk.

·         1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Selasa Kliwon, 30 Agustus 2011 M.

 

               Dengan melihat parameter di atas tampak bahwa ketiga kriteria bulan baru menurut hisab wujudul hilal telah terpenuhi pada sore hari ke-29 (malam ke-30) Ramadan, Selasa Kliwon 30-08-2011 M. Oleh karena itu malam Selasa dan keesokan harinya, yaitu hari Selasa Kliwon 30-08-2011 M, dinyatakan sebagai bulan baru, yaitu 1 Syawal 1432 H.

 

          3. Zulhijah 1431 H:

·         Ijtimak menjelang Zulhijah 1432 H terjadi pada hari Kamis Pon, 27 Oktober 2011 M pukul 02:57:10 WIB.

·         Tinggi hilal pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta (f= -07°48¢dan l= 110°21¢BT) adalah +06°28¢53²(hilal sudah wujud) dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat Matahari terbenam hilal sudah di atas ufuk.

·         1 Zulhijah 1432 H jatuh pada hari Jumat Wage, 28 Oktober 2011 M.

·         Hari Arafah (9 Zulhijah 1432 H) jatuh pada hari Sabtu Pahing, 05 November 2011 M.

·         Iduladha (10 Zulhijah 1432 H) jatuh pada hari Ahad Pon, 06 November 2011 M.

 

            Dengan demikian tiga kriteria awal bulan baru menurut hisab wujudul hilal untuk Zulhijah 1432 H telah terpenuhi pada sore Kamis 27-10-2011 M, sehingga malam dan siang Ahad 28-10-2011 M dinyatakan sebagai awal bulan baru, yaitu 1 Zulhijah 1432 H. Kelanjutannya tanggal 9 Zulhijah jatuh hari Sabtu Pahing 05-11-2011 M, dan Iduladha (10 Zulhijah) 1432 H jatuh Ahad Pon 06-11-2011 M.

 

C. Dasar-dasar Penggunaan Hisab

 

          Mengapa Muhammadiyah (dalam praktiknya) menggunakan hisab? Bukankah perintah supaya melakukan rukyat untuk memulai Ramadan dan Idulfitri dalam hadis-hadis Nabi saw sangat tegas? Dan bukankah larangan agar tidak memulai puasa Ramadan dan Idulfitri sebelum terjadi rukyat juga amat tegas sebagaimana dikemukakan di atas? Alasan-alasan penggunaan hisab untuk penetapan awal bulan kamariah khususnya bulan-bulan ibadah meliputi alasan sayr’i dan alasan astronomis.   

            1. Alasan Syar’i

 

          Adabeberapa alasan syar’i sebagai berikut:

            Pertama, semangat al-Quran adalah penggunaan hisab. Dalam surat ar-Rahman ayat 5 Allah berfirman,

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ [55: 5]

          Artinya: Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan[55: 5]

 

Ayat ini menegaskan bahwa matahari dan Bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya tersebut karena itu dapat dihitung dan diprediksi. Ayat ini tidak sekedar memberi informasi, tetapi juga mengandung dorongan untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan Bulan karena banyak kegunaannya. Di antara kegunaan perhitungan gerak Bulan dan matahari itu, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 5 dari surat Yunus, adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Atas dasar itu Syaikh Syaraf al-Qudah dari Yordania menegaskan, “Pada asasnya perhitungan bulan kamariah itu adalah dengan menggunakan hisab.” Ayat 5 surat Yunus dimaksud berbunyi,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ [10: 5].

          Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi Bulan itu manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui [Q. 10: 5].

 

            Apabila semangat al-Quran adalah hisab, lalu mengapa Nabi saw sendiri dan memerintahkan melakukan rukyat? Hal itu adalah karena alasan kedua berikut.

 

            Kedua,menurut Mu¥ammad Rasy³d Ri«± dan Mu¡¯af± az-Zarq±, perintah melakukan rukyat itu adalah perintah berilat, maksudnya perintah yang disertai alasan hukum (ilat) yang menerangkan mengapa diperintahkan demikian. Menurut kaidah fikhiah, hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Apabila ada ilatnya, maka hukum diberlakukan, dan apabila tidak ada ilatnya, maka hukum tidak diberlakukan. Ilat perintah rukyat adalah keadaan umat yang ummi (tidak kenal baca tulis dan hisab) pada zaman Nabi saw. Karena tidak mengenal baca tulis dan hisab, maka tidak mungkin orang pada zaman itu melakukan hisab. Untuk itu mereka diperintahkan menggunakan sarana yang mudah bagi mereka saat itu, yaitu melakukan rukyat. Ini ditegaskan oleh Nabi saw dalam hadis riwayat al-Bukh±r³ dan Muslim sebagai berikut,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ [رواه البخاري ومسلم].

          Artinya: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari[HR al-Bukh±r³ dan Muslim].

 

            Hadis ini menurut Mu¥ammad Rasy³d Ri«±, Mu¡¯af± az-Zarq±, dan Y­suf al-Qara«±w³ menerangkan ilat mengapa rukyat diperintahkan, yaitu karena kedaan ummat pada zaman itu masih ummi, yaitu sebagian terbesar tidak mengenal baca tulis dan tidak dapat melakukan hisab.[6] Oleh karena itu, sesuai dengan kaidah fikhiah bahwa hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat, maka apabila ada ilat, yaitu keadaan ummi dalam hal ini tidak ada orang yang bisa melakukan hisab, maka digunakan rukyat, dan apabila ilat tidak ada, yaitu keadaan tidak lagi ummi di mana telah ada ahli hisab, maka perintah rukyat tidak berlaku lagi, dan metode yang digunakan adalah hisab karena sudah ada ahlinya.[7]

 

            Menurut Mu¥ammad Rasy³d Ri«±, rukyat itu bukanlah ibadah.[8] Menurut Mu¡¯af± az-Zarq±, perintah melakukan rukyat hilal bukan karena rukyat itu sendiri adalah ibadah atau mengandung makna taabudi. Akan tetapi perintah tersebut adalah karena rukyat itulah sarana yang mungkin dan mudah dilakukan saat itu untuk mengetahui mulai dan berakhirnya bulan bagi orang yang keadaannya masih ummi, di mana mereka tidak memiliki pengetahuan tentang baca tulis dan hisab astronomi.[9]Menurut Y­suf al-Qara«±w³, rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana untuk mengetahui masuknya bulan baru. Sebagai sarana, rukyat merupakan sarana yang lemah dan tidak begitu akurat. Hisab yang menggunakan kaidah-kaidah astronomi lebih memberikan kepastian dan akurasi tinggi, serta terhindar dari kemungkinan keliru dan kedustaan. Oleh karena itu, menurut Y­suf al-Qara«±w³, apabila kita telah memiliki sarana yang lebih pasti dan akurat, maka mengapa kita harus jumud bertahan dengan suatu sarana yang tidak menjadi tujuan pada dirinya.[10] A¥mad Mu¥ammad Sy±kir, ahli hadis abad ke-20 dari Mesir yang menurut al-Qara«±w³ merupakan seorang salafi murni, menegaskan bahwa wajib menggunakan hisab untuk menentukan bulan kamariah dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.[11]Dengan argumen seperti itu para ulama penganut hisab tidak menjadikan rukyat sebagai syarat memulai puasa Ramadan atau Idulfitri. Ibn Daq³q al-‘´d (w. 702 H / 1302 M) dalam karyanya Syar¥ ‘Umdat al-A¥k±m menegaskan,

      Rukyat secara faktual tidak disyaratkan untuk wajibnya memulai puasa karena telah disepakati bahwa orang yang berada di dalam bungker apabila dengan hisab atau dengan ijtihad mengetahui telah sempurnanya bulan berjalan wajiblah ia berpuasa meskipun ia tidak melihat Bulan atau tidak ada orang yang melihatnya yang membeitahukan kepadanya.[12]

 

            Jadi hadis-hadis rukyat tidak ditafsirkan secara individual dan secara harfiah dan apa adanya. Hadis-hadis tersebut harus ditafsirkan:

1)     secara komprehensif dengan menghubungkannya kepada hadis lain terkait serta ayat-ayat al-Quran, dan

2)     secara kontekstual dengan melihat ilat mengapa waktu itu diperintahkan melakukan rukyat, yaitu karena keadaan umat yang masih ummi.     

 

2. Alasan Astronomis

 

          Alasan-alasan astronomis mengapa kita harus menggunakan hisab, tidak menggunakan rukyat adalah:

 

            Pertama, bahwa dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Dr. Nidhal Guessoum, salah seorang penulis, mengeluh karena menurutnya adalah suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga hari ini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas, padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.[13] Menurut Prof. Dr. Idris Ben Sari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, ketiadaan kalender Islam terpadu hingga hari ini disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada faham rukyat sehingga tidak dapat membuat suatu sistem penanggalan yang akurat dan kuat.[14] Haruslah diakui bahwa rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan, karena tanggal baru bisa diketahui dengan metode rukyat pada h-1.

 

            Kedua, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda memulai awal bulan kamariah termasuk bulan-bulan ibadah. Hal itu adalah karena rukyat terbatas jangkauannya. Rukyat pada visibilitas pertama tidak dapat mengkaver seluruh muka bumi, sehingga pada hari yang sama ada muka bumi yang telah merukyat dan ada muka bumi yang belum dapat merukyat. Akibatnya adalah bahwa kawasan yang telah berhasil merukyat akan memulai bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, dan bagian muka bumi yang belum dapat merukyat akan menggenapkan bulan berjalan dan memulai bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan memulai tanggal. Sebagai contoh lihat kurve rukyat pada Ragaan 1.

 

Ragaan 1: Kurve Rukyat hilal Syawal 1439 H, Kamis petang 14-06-2018 M.

Konjungsi Kamis 14-06-2018 M pukul 02:43 WIB [Perhitungan dan pembuatan gambar menggunakan al-Maw±q³t ad-Daq³qah oleh Audah].

 

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Kurve rukyat Syawal 1439 H dalam Ragaan 1 di atas memperlihatkan proyeksi rukyat ke atas peta bumi segi empat. Ternyata bahwa kawasan bumi yang dapat melihat hilal pada visibilitas pertama membentuk lengkungan yang menjorok ke timur. Kurve itu menunjukkan bahwa rukyat mula-mula terjadi di sebelah timur dan terus bergerak ke arah barat dengan keadaan rukyat yang semakin mudah dilakukan dan semakin jelas tampakan hilalnya. Hal itu karena Bulan bergerak secara semu (sebenarnya bumi yang berputar) dari arah timur ke arah barat dengan posisi semakin meninggi sehingga orang di sebelah timur lah pertama kali yang dapat merukyat. Kurve di atas memperlihatkan bahwa ketika Bulan melintas di kawasan pulau-pulau di tepi barat Garis Tanggal Internasional (GTI) saat matahari tenggelam di kawasan itu, hilal belum terlihat karena Bulan mungkin masih di bawah ufuk atau sudah di atasnya, namun posisinya masih rendah sehingga tidak terlihat.

 

Kawasan di dalam lengkungan kurve rukyat pada Ragaan 1 di atas adalah kawasan yang dapat merukyat pada hari Kamis sore 14-06-2018 M beberapa saat setelah matahari tenggelam. Kawasan di luarnya tidak dapat merukyat pada sore itu. Jadi terjadi pembelahan muka bumi antara yang bisa merukyat dan yang tidak bisa merukyat, sehingga terjadi perbedaan hari jatuhnya Syawal di muka bumi. Kawasan yang telah dapat merukyat pada Kamis sore itu memasuki 1 Syawal pada hari Jumat 15-06-2018 M. Sementara kawasan muka bumi yang belum dapat merukyat memasuki 1 Syawal pada hari Sabtu 17-06-2018 M. Bahkan ada sejumlah negara yang terbelah di mana sebagian bisa merukyat dan sebagian lagi tidak bisa merukyat.

 

            Apabila orang konsekuen dengan rukyat sesuai dengan hadis Kuraib, maka kawasan tertentu yang telah berhasil merukyat akan memulai bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, sedangkan bagian yang belum dapat melihat hilal memasuki bulan baru lusa. Inilah di antara kelemahan penggunaan rukyat. Bahkan ada kawasan dunia yang untuk waktu lama tidak dapat melihat hilal atau terlambat beberapa hari untuk dapat melihatnya. Kawasan-kawasan bumi yang terletak di atas garis Lintang Utara 60º dan kawasan bumi di bawah garis Lintang Selatan 60º merupakan kawasan yang tidak normal di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan yang termasuk ke dalam Lingkaran Artika (Arctic Circle) di sekitar kutub utara dan Lingkaran Antartika (Antarctic Circle) di sekitar kutub selatan di mana siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.[15] Pada musim dingin di Lingkaran Artika, matahari berada di bawah ufuk sehingga tidak ada siang. Lama malam di kawasan ini bervariasi sejak dari 24 jam di garis Lingkaran Artika hingga 6 bulan di kutub utara. Selama itu matahari bergerak di bagian selatan bumi sehingga tidak terlihat di kawasan utara (di Lingkaran Artika). Ketika saat ijtimak (konjungsi) –selama musim dingin– Bulan berada di tengah-tengah antara matahari dan bumi atau masih di sekitar itu, maka ia tidak akan terlihat di Lingkaran Artika karena seperti juga matahari, Bulan berada di bawah ufuk. Oleh karena itu hilal tidak pernah terlihat di kawasan tersebut selama beberapa hari dan baru akan terlihat setelah besar dan menjauh dari garis konjungsi.[16]

 

            Ketiga, jangkauan rukyat terbatas, di mana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh maksimal sekitar 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin untuk menunggu rukyat fisik yang terjadi di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Jadi orang Indonesia tidak mungkin menanti terjadinya rukyat di New York (selisih waktu 12 jam) karena ketika di New York rukyat terjadi sekitar pukul 06:00 sore misalnya, di Indonesia jam sudah menunjukkan pukul 06:00 pagi hari berikutnya. Pada hal orang di kawasan timur tersebut (misalnya di Indonesia Timur) pada pukul 04:00 pagi waktu setempat harus sudah mendapatkan kepastian apakah mereka akan makan sahur untuk mulai puasa Ramadan, misalnya, ataukah tidak, sementara rukyatnya sendiri saat itu belum terjadi, karena baru diperkirakan akan terjadi beberapa jam lagi. Mereka tidak bisa menunggu lebih lama karena keburu memasuki pagi hari. Jadi rukyat fikliah (fisik) tidak mungkin dapat dapat menyatukan awal bulan kamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Contoh berikut menggambarkan rukyat di Amerika Latin khususnya Barzilia.

 

Ragaan 2: Kurve rukyat Ramadan Kamis 19-07-2012 M

 

 

 
 

 

 


                     

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ket: Garis lengkung A adalah kurve rukyat Ramadan 1433 H. Garis lengkung B adalah garis wujudul hilal.

 

            Garis lengkung A pada Ragaan 2 menampilkan kurve rukyat Ramadan 1433 H pada Kamis sore 19-07-2012 M pukul 17:45 Waktu Brazilia (Jumat pukul 03:45 WIB) di kota Porto Alegre [long: ­–51º 10’; lat: ­–29º 60’], Brazilia. [Hitungan dan gambar berdasarkan al-Maw±q³t ad-Daq³qah]. Rukyat di Porto Alegre ini adalah rukyat paling timur di muka bumi yang dapat dialami pada hari Kamis sore 19-07-2012 M bilamana cuaca baik dan ideal. Kawasan lebih ke timur lagi dari daerah tersebut tidak dapat merukyat sehingga mereka menggenapkan bulan Syakban 30 hari dan memulai Ramadan lusa, yakni hari Sabtu 21-07-2012 M. Sementara kawasan sebelah barat kota tersebut dapat merukyat hilal Ramadan pada hari Kamis sore sehingga mereka  memulai puasa Ramadan 1433 H pada hari Jumat tanggal 20-07-2012 M. Terjadinya rukyat di Porto Alegre ini tidak mungkin ditunggu oleh mereka yang berada di timur dengan selisih waktu 11 jam atau lebih. Jadi rukyat tersebut tidak bisa dipedomani oleh orang Indonesia Timur karena mereka sudah memasuki pagi hari berikutnya, yakni pukul 05:45 pagi Jumat. Padahal mereka pada sekitar pukul 04:30 pagi Jumat itu sudah harus mendapat kepastian tentang rukyat di Porto Alegre. Namun rukyat itu pada pukul 04:30 pagi WIT belum terjadi karena di Porto Alegre baru pukul 16:45 sore Waktu Brazilia dan belum ada rukyat karena rukyat baru akan terjadi satu seperempat jam lagi. Ini menunjukkan bahwa rukyat global secara fisik adalah mustahil dan karena itu pengamalan rukyat tidak dapat menyatukan penanggalan Islam dan momen-momen keagamaan umat Muslimin. Inilah kelemahan rukyat. 

 

            Memang di Zaman Tengah banyak ulama menyatakan tentang pengamalan rukyat bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat di muka bumi, maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Imam an-Nawaw³ (w. 676/1277) misalnya mengatakan, “beberapa ulama kami mengatakan bahwa rukyat di suatu tempat berlaku untuk seluruh penduduk bumi.”[17] Pandangan ini banyak juga dianut di zaman modern, bahkan oleh Lembaga Fikih Islam OKI (Organisasi Konferensi Islam) dalam putusannya tahun 1986 yang menegaskan, “Apabila terjadi rukyat di suatu negeri, wajib diikuti oleh seluruh kaum Muslimin tanpa mempertimbangkan perbedaan matlak karena keumuman perintah berpuasa dan beridul fitri.”[18]Namun jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis. Untuk ulama di Zaman Tengah kita dapat memakluminya, karena ilmu astronomi pada waktu itu belum mencapai kemajuan seperti sekarang, atau para ulama itu tidak memiliki pengetahuan astronomi yang cukup memadai. Di zaman sekarang pendapat semacam ini jelas tidak dapat dipertahankan. Memang mereka di sebelah timur bisa mengamalkan rukyat di Porto Alegre itu apabila menggunakan hisab, yaitu hisab imkanu rukyat.

 

            Keempat, rukyat menimbulkan problem pelaksanaan puasa Arafah, karena rukyat terbatas liputannya. Bisa terjadi bahwa di Mekah belum terjadi rukyat karena posisi Bulan masih di bawah ufuk atau sudah di atas ufuk namun dengan ketinggian yang amat minim, sementara di daerah lain (di zona waktu sebelah barat) sudah terjadi rukyat, sehingga kawasan sebelah barat itu akan mendahului Mekah memasuki bulan baru. Atau di Mekah sudah terjadi rukyat sementara di kawasan lain (di zona waktu sebelah timur) belum terjadi rukyat, sehingga kawasan di zona waktu sebelah timur itu akan terlambat satu hari memasuki bulan baru dari Mekah. Problemnya adalah bahwa rukyat dapat menyebabkan orang di kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Iduladha di kawasan ujung barat itu dan puasa pada hari raya dilarang. Bagi kawasan di zona timur, problemnya adalah bisa jadi hari wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan tanggal 8 Zulhijah di kawasan ujung timur bumi. Hal ini dapat dilihat pada contoh kasus Zulhijah 1439 H dan 1455 H pada Ragaan 3 dan 4.

 

Ragaan 3:    Rukyat Zulhijah 1439 H Sabtu 11-08-2018 M

[Hitungan dan kedua gambar ini berdasarkan al-Maw±qvt ad-Daq³qah dari Audah]

                  

                                                                  

                                                                          

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ragaan 4: Rukyat Zulhijah 1455 HAhad 19-02-2034 M

[Hitungan dan kedua gambar ini berdasarkan al-Maw±qvt ad-Daq³qah dari Audah]

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Ragaan 3 memperlihatkan bahwa hilal Zulhijah 1439 H pada Sabtu sore 11-08-2018 M hanya terlihat pada kawasan kecil dari muka bumi, yaitu di Samudera Pasifik sebelah timur Garis Tanggal Internasional (GTI). Rukyat tersebut pada hari Sabtu tidak mencapai daratan benua Amerika. Rukyat hanya dapat terjadi pada sore itu di Kepulauan Hawaii dan pulau-pulau lain di Pasifik sebelah timur GTI. Di ibukota Honolulu ketinggian Bulan sore Sabtu tersebut adalah 09º 7’ 49”. Jadi sudah cukup tinggi untuk dapat dirukyat. Ini artinya orang-orang Muslim di Negara Bagian Hawaii itu memasuki tanggal 1 Zulhijah 1439 H pada hari Ahad 12-08-2018 M, dan tanggal 9 Zulhijah (hari puasa Arafah) jatuh hari Senin 20-08-2018 M dan 10 Zulhijah (hari Iduladha) jatuh hari Selasa 21-08-2018 M.

 

            Sementara itu Mekah pada hari Sabtu sore belum bisa merukyat meskipun Bulan sudah di atas ufuk, karena posisinya masih amat rendah, yaitu 02º 12’ 27”. Data astronomis Bulan pada sore Sabtu 11-08-2018 M di Mekah itu belum memenuhi kriteria Istambul 1978 dan kriteria paling mutakhir dari Audah. Bahkan diteropong pun juga belum akan terlihat. Ini artinya Mekah akan memasuki 1 Zulhijah lusa hari konjungsi, yaitu pada hari Senin 13-08-2018 M, dan 9 Zulhijah (wukuf) jatuh hari Selasa 21-08-2018 M dan 10 Zulhijah (hari Iduladha) jatuh pada hari Rabu 22-08-2018 M. Jadi dalam kasus ini hari Arafah di Mekah yang jatuh hari Selasa 21-08-2010 M bersamaan dengan Iduladha di Hawaii, sehingga orang Muslim di sana tidak mungkin melaksanakan puasa Arafah sebab berpuasa pada hari raya dilarang hukumnya.

 

Jadi rukyat menyebabkan umat Islam di kawasan waktu ujung barat tidak dapat melaksanakan puasa Arafah. Inilah mengapa rukyat terpaksa harus ditinggalkan. Oleh karena itu pula kita tidak dapat dengan enteng mengatakan bahwa untuk haji, bila di Mekah jamaah haji wukuf, maka kita puasa Arafah dan besoknya lebaran haji. Kalau orang di kawasan zona waktu barat menunda masuk bulan Zulhijah yang hilalnya sudah terpampang di ufuk mereka demi menunggu Mekah, maka ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau, serta melanggar ketentuan bahwa “apabila kamu telah melihat hilal puasalah, dan apabila kamu melihatnya berharirayalah.” Menurut suatu penelitian, untuk jangka waktu 20 tahun ke depan (dari 1431 H s/d 1450 H) di zona waktu ujung barat akan terjadi bahwa orang Muslim di sana tidak dapat melaksanakan puasa Arafah sebanyak 11 kali karena hari wukuf di Arafah di Mekah jatuh bersamaan dengan 10 Zulhijah di kawasan barat.[19]

 

            Kasus kawasan timur ditampilkan oleh ragaan 4 di atas. Sebalik dari Ragaan 3, pada Ragaan 4 rukyat Zulhijah 1455 H sudah dimungkinkan terjadi di Mekah bilamana cuaca terang dan baik pada hari Ahad 19-02-2034 M dengan ketinggian Bulan 06º 35’ 12” dan busur rukyat (arc of vision) 08º 16’ 32”. Data Zulhijah 1455 H di Mekah telah memenuhi kriteria rukyat Istambul 1978 dan kriteria Audah. Jadi Mekah memasuki 1 Zulhijah 1455 H pada hari Senin 20-02-2034 M, 9 Zulhijah 1455 H pada hari Selasa 28-02-2034 M dan 10 Zulhijah (Iduladha) pada hari Rabu 1 Maret 2034 M. Sementara itu di Indonesia belum dimungkinkan rukyat pada hari Ahad 19-02-2034 M itu karena posisi hilal masih rendah, di Pelabuhanratu baru 03º 02’ 19”. Di Selandia Baru, Bulan bahkan masih di bawah ufuk. Ketinggian 03º 02’ 19” di Pelabuhanratu menurut kriteria internasional belum memungkinkan rukyat, sehingga Indonesia akan memasuki 1 Zulhijah pada hari Selasa 21-02-2034, 9 Zulhijah jatuh hari Rabu 1 Maret 2034 M, dan Iduladha jatuh Kamis 2 Maret 2034 M. Dari sini terlihat bahwa hari Arafah di Mekah (Selasa 28-02-2034 M) jatuh bersamaan 8 Zulhijah di Indonesia. Sama dengan ini adalah di Selandia Baru. Di sini timbul pertanyaan apa orang puasa Arafah di Indonesia dan Selandia baru serta kawasan lain di timur pada tanggal 8 Zulhijah? Inilah problem rukyat yang tidak dapat menyatukan tanggal secara global.

 

Mengenai rukyat untuk ketinggian Bulan 3º seperti di atas, di Indonesia biasanya diyakini ketinggian demikian memungkinkan rukyat. Akan tetapi kajian ilmiah tidak menunjukkan demikian. Seorang dosen ilmu falak mengatakan bahwa selama 7 tahun pengalamannya merukyat di Obsevatorium Bosscha belum pernah terjadi bahwa bulan berketinggian kurang dari 5º dapat dirukyat.

 

            Memang sering ada klaim rukyat padahal posisi Bulan masih amat rendah, bahkan masih di bawah ufuk. Hasil penelitian ilmiah menunjukkan bahwa memang ada dorongan psikologis untuk cepat-cepat merasa melihat hilal sehingga terjadi halusinasi di mana orang merasa melihat hilal padahal hilal sesungguhnya belum ada. Ini terjadi di berbagai negara baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Arab Saudi penelitian tentang 45 kali Ramadan sejak Ramadan 1380 H sampai dengan Ramadan 1425 H, menunjukkan bahwa dari 45 kali Ramadan itu ternyata 29 kali hilal masih di bawah ufuk tetapi diklaim telah terukyat. Penetapan Zulhijah beberapa tahun terakhir juga ternyata Bulan masih di bawah ufuk. Pada tahun 1428 H (2007 M) penetapan Zulhijah Arab Saudi oleh Majlis al-Qa«±’ al-A’l± (Majelis Agung Yudisial) mendapat kecaman teramat pedas dari Islamic Crescents’ Observation Project (ICOP) dan diminta untuk mencabut penetapan tersebut.[20]

 

            Kenyataan-kenyataan di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan kuat agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam tahun 2008 di Maroko memutuskan, “Kedua, Masalah Penggunaan Hisab: Para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat.”[21] Seruan ini masih belum banyak disadari lapisan luas masyarakat Muslim karena kekurangan wawasan dan hanya berpegang kepada tradisi yang diwarisi beberapa abad dari zaman lampau. Kenyataan di atas juga menunjukkan bahwa penyatuan penanggalan Islam tidak hanya cukup pada tingkat nasional masing-masing negara, karena adanya masalah puasa Arafah yang menyangkut lintas negara. Penyatuan penanggalan secara nasional saja belum sungguh-sungguh menyatukan karena ada masalah puasa Arafah. Oleh karena itu penyatuan penanggalan Islam itu harus internasional.

 

D. Upaya Penyatuan Sistem Penanggalan Islam Se-Dunia

 

          Sampai saat ini di dalam dunia Islam belum terdapat satu sistem kalender Islam internasional yang menyatukan sistem waktu Islam di seluruh dunia. Yang ada hanyalah kalender-kalender lokal yang berlaku tempat tertentu saja. Oleh karena itu tidak heran sering terjadi perbedaan mencolok di kalangan umat Islam dalam menentukan momen-momen keagamaan penting. Perbedaan itu bisa mencapai empat hari. Misalnya 1 Syawal 1429 H (2008 M) dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia pada empat hari berbeda, yaitu:

·         Senin 29 September 2008 M,

·         Selasa 30 September 2008 M,

·         Rabu 01 Oktober 2008 M, dan

·         Kamis 02 Oktober 2008 M.[22]

Sedangkan 1 Syawal 1430 H (2009 M) yang lalu dirayakan pada tiga hari berbeda, yaitu Sabtu, Ahad dan Senin (19, 20, dan 21 September 2009 M).[23]

           

          Keprihatinan terhadap “kekacauan” dalam pengorganisasian waktu seperti ini serta ketidakmampuan menepatkan pelaksanaan berbagai momen penting keagamaan secara selaras di seluruh dunia telah mendorong para pakar Muslim untuk memikirkan penyatuan sistem penataan waktu dalam bentuk suatun kalender kamariah Islam internasional sejak tiga dasawarsa terakhir. Dorongan tersebut juga tidak kurang datang dari organisasi Islam internasional, OKI (Organisasi konferensi Islam). Terakhir bulan Maret 2008 melalui apa yang dikenal dengan dengan Deklarasi Dakar, badan dunia umat Islam ini menyerukan agar, “dalam rangka pembaruan Islam itu sendiri, kami menyampaikan seruan kepada negara-negara kita dan para pakarnya supaya melakukan mobilisasi tenaga dalam upaya melakukan penyatuan kalender Islam guna mendukung penguatan citra Islam di mata dunia.”[24]

 

            Gagasan pertama untuk membuat sistem kalender Islam internasional datang dari seorang astronom Malaysia, Mohammad Ilyas. Ia mengusulkan suatu rancangan kalender Islam internasional dengan tiga zona.[25] Artinya beliau membagi kawasan menjadi tiga zona kalender yang pada masing-masingnya berlaku kalender tersendiri di mana bisa saja terjadi perbedaan penanggalan. Di dunia Arab, Ni«±l Qas­m, Meziane dan al-‘Atb³ mengusulkan suatu kalender empat zona.[26] Namun gagasan-gasan ini semua kini telah ditinggalkan karena jelas tidak berorientasi penyatuan penanggalan Islam di seluruh dunia. Memang kemajuan pemikiran dalam hal ini berlangsung cepat sekali, selaran dengan cepatnya perkembangan kajian falak dan fikih yang berlangsung di lingkungan umat Islam kini. 

 

            Pada tahap sekarang gagasan mengenai bentuk kalender kamariah internasional mengerucut dalam dua kutub. Kutub pertama adalah rancangan-rancangan kalender yang berupaya mengakomodasi pandangan penganut rukyat. Dalam rancangan-rancangan ini dipertahankan bahwa untuk memasuki bulan kamariah baru agar didasarkan kepada imkanu rukyat di dunia Islam. Untuk itu kelompok ini menghusung gagasan kalender bizonal, yaitu kalender yang membagi dunia menjadi dua zona tanggal, yaitu zona tanggal timur yang dunia Islam tercakup di dalamnya, dan zona tanggal barat yang meliputi benua Amerika, dan bagi masing-masing zona berlaku penanggalan sendiri-sendiri yang bisa berbeda dengan penanggalan zona lainnya. Kutub ini mengorbankan penyatuan demi mempertahankan rukyat dalam bentuk imkanu rukyat. Sebaliknya kutub kedua mempertahankan kesatuan dan mengorbankan rukyat. Bagi kutub ini prinsipnya adalah satu hari satu tanggal dan satu tanggal satu hari di seluruh dunia.          

 

          1. Racangan-rancangan Kalender Bizonal  

 

          Sejauh ini terdapat sekurang-kurangnya tiga rancangan kalender bizonal, yaitu kalender Mu¥ammad ‘Audah yang ia sebut sebagai Kalender Hijriah Universal, rancangan kalender Ni«al Q±s­m, dan rancangan kalender Syaraf al-Qu«±h.

 

            Kalender Mu¥ammad Syaukat ‘Audah didasarkan kepada pembagian bumi menjadi dua zona tanggal dengan rumusan sebagai berikut,   

            Bumi dibagi menjadi dua zona sebagai berikut:

a)      Zona Kalender Hijriah Timur, yang meliputi kawasan dari garis 180º BT ke arah barat hingga 20º BB, yang mencakup empat benua (Australia, Asia, Afrika dan Eropa) dan dunia Islam seluruhnya termasuk di dalamnya. Apabila hisab menunjukkan bahwa hilal mungkin dirukyat pada suatu tempat (di daratan) dalam zona ini, maka hari berikutnya dinyatakan sebagai tanggal 1 bulan Hijriah baru pada zona ini.

b)     Zona Kalender Hijriah Barat, yang meliputi kawasan dari posisi 20º BB hingga mencakup kawasan di sebelah barat Amerika Utara dan Amerika Latin. Apabila hisab menunjukkan bahwa hilal mungkin dirukyat pada suatu tempat (di daratan) dalam zona ini, maka hari berikutnya dinyatakan sebagai tanggal 1 bulan Hijriah baru pada zona ini.[27]

            Rancangan kalender Ni«±l Qasum mengalami perkembangan. Mula-mula ia mengusulkan suatu kalender dengan empat zona. Namun kemudia ia meninggalkan usulan itu dan mengajukan usulan baru yang merupakan kalender bizonal. Kaidahnya adalah sebagai berikut,

      Bumi dibagi menjadi dua zona: Benua Amerika di Zona Barat dan Bagian dunia lainnya di Zona Timur. Bulan kamariah Islam baru, dimulai di kedua zona pada hari berikutnya apabila ijtimak terjadi sebelum fajar di Mekah. Bulan kamariah Islam baru, dimulai pada hari berikutnya di Zona Barat dan ditunda sehari di Zona Timur apabila ijtimak terjadi antara fajar di Mekah dan pukul 12:00 Waktu Universal (WU).[28]

 

            Rancangan kalender bizonal ketiga adalah dari Syaraf al-Qu«±h yang didasarkannya kepada hadis Kuraib yang terkenal itu. Kaidah kalender ini menyatakan,

      Kita wajib memegangi hadis Kuraib (dalam arti kita tidak mungkin memegangi prinsip transfer imkanu rukyat[29]). Apabila hilal telah terlihat di suatu tempat, maka keesokan harinya bulan baru dimulai di tempat itu dan tempat-tempat lain yang terletak pada garis bujur yang sama serta tempat-tempat yang terletak di sebelah barat garis bujur bersangkutan.  Sedangkan kawasan yang terletak di sebelah timur tempat tersebut baru memasuki bulan baru pada hari lusa.

 

      Oleh karena hari, bulan dan tahun secara syar’i dimulai pada saat terbenamnya matahari, bukan pada pukul dua belas malam,  dan terbenamnya matahari di muka bumi tidak terjadi pada satu waktu yang sama, melainkan pada waktu berbeda selama 24 jam sesuai dengan posisi tempat masing-masing, maka tempo 24 jam itulah hari syar’i bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan puasa atau hari raya, bukan hari menurut konsep konvensional.

            Kelemahan kalender-kalender zonal ini adalah pertama, tidak bersifat menyatukan sistem penanggalan Islam di seluruh dunia karena kalender-kalender ini membagi bumi menjadi dua zona tanggal di mana pada masing-masing zona berlaku penanggalan sendiri-sendiri sehingga bisa terjadi perbedaan tanggal antara satu zona dengan zona lain. Kedua, dan ini yang lebih fatal, penerapan kalender zonal ini dapat menyebabkan umat Islam di kawasan waktu zona barat tidak bisa melaksanakan puasa Arafah karena hari Arafah di Mekah yang termasuk ke dalam zona timur jatuh bersamaan dengan hari Iduladha di kawasan waktu zona barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk waktu 20 tahun ke depan (1431-1450 H) ada 11 kali puasa Arafah tidak dapat dilaksanakan di zona barat menurut kalender Qas­m dan al-Qu«±h dan 9 kali menurut kalender ‘Audah. Ini semua karena hari wukuf di Arafah di Mekah yang masuk ke dalam zona timur jatuh bersamaan dengan hari Iduladha di zona barat.[30] Bahkan kalender al-Qu«±h tidak hanya menimbulkan problem puasa Arafah bagi zona barat, tetapi juga bagi zona timur karena bisa terjadi bahwa hari wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan tanggal 8 Zulhijah di kawasan timur. Pertanyaannya adalah apakah orang berpuasa Arafah pada tanggal 8 Zulhijah menurut penanggalan di kawasannya? Apabila hari Arafahnya mengikuti Mekah saja, sebagaimana pendapat sebagian kalangan, maka ini berarti melanggar kaidah kalender itu sendiri dan melanggar prinsip rukyat agar tidak memulai bulan baru sebelum terjadi rukyat sesuai dengan sabda Nabi saw bahwa jangan kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan jangan kamu beridulfitri sebelum kamu melihat hilal.[31]    

 

          2. Racangan-rancangan Kalender Terpadu 

 

             Seperti telah disinggung di muka, kalender-kalender terpadu menekankan penyatuan penanggalan Hijriah di seluruh dunia dengan prinsip satu hari satu tanggal dan satu tanggal satu hari. Oleh karena itu muka bumi tidak dibagi-bagi ke dalam sejumlah zona tanggal; seluruh muka bumi diberlakukan hanya satu penanggalan. Penegasan tentang ini dirumuskan dalam hasil Temu Pakar II tahun 2008 bahwa para peserta sepakat menolak adanya dua tanggal berbeda untuk satu hari yang sama, yaitu tanggal yang berlaku bagi zona barat dan tanggal khusus yang berlaku bagi zona timur.[32] Temu Pakar II juga merumuskan syarat-syarat kalender terpadu, yaitu:

1)     Kalender Islam adalah sarana hisab untuk mengatur urusan keduniaan dan agama sekaligus,

2)     Kalender Islam harus didasarkan kepada bulan kamariah di mana durasinya tidak lebih dari 30 hari dan tidak kurang dari 29 hari;

3)     Kalender Islam harus merupakan kalender terpadu,

4)     Tidak boleh memasuki bulan baru sebelum terjadi konjungsi,

5)     Tidak boleh memulai bulan baru sebelum yakin terjadinya imkanu rukyat hilal di suatu tempat di muka bumi,

6)     Tidak boleh menjadikan sekelompok orang Muslim di suatu tempat di muka bumi belum memasuki bulan baru sementara hilal bulan tersebut telah terpampang secara jelas di ufuk mereka.[33]

 

            Ada empat kalender terpadu yang ditetapkan dalam Temu Pakar II, yaitu Kalender Ummul Qur±, Kalender Jam±ludd³n­–Shaukat, Kalender Metode Libia, dan Kalender Husain Diallo. Kemmpat kalender terpadu ini sekarang sedang dalam proses uji validitas di ISESCO melalui Tim Tindak Lanjut Perumusan Kalender Islam untuk periode selama 90 tahun ke depan hingga tahun 2100 untuk menentukan mana di antaranya yang paling memenuhi 6 syarat kalender terpadu yang dikemukakan di atas. Yang paling mampu memenuhi syarat-syarat terdahulu dan paling sedikit inkonsistensinya itulah yang akan ditetsapkan sebagai kalender terpadu dunia Islam.

 

            Masing-masing kalender ini memiliki kaidah kalender berbeda. Kalender Ummul Qura dari Arab Saudi memakai kriteria wujudul hilal, tetapi dengan marjak kota mulia Mekah. Kalender Jam±ludd³n-Shaukat menggunakan kaidah konjungsi (ijtimak) sebelum pukul 12:00 Waktu Universal (WU). Maksudnya apabila ijtimak terjadi sebelum pukul 12:00 WU, seluruh dunia memasuki bulan baru keesokan harinya. Tetapi apabila konjungsi terjadi lewat pukul 12:00 WU, maka seluruh dunia memasuki bulan baru lusa. Kalender Libia menggunakan kaidah kalender berupa ijtimak sebelum fajar di titik K. Sedangkan kaidah kalender Husain Diallo adalah: Apabila ijtimak terjadi sebelum pukul 12:00 Waktu Mekah, maka seluruh dunia mulai bulan baru esok hari, dan apabila ijtimak terjadi sesudah pukul 12:00 Waktu Mekah, maka bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa di seluruh dunia.

 

            Keunggulan kalender terpadu ini adalah bahwa mereka bersifat menyatukan serta dapat mengatasi problem puasa Arafah. Kelemahannya adalah bisa terjadi bahwa orang di kawasan waktu zona timurpada bulan tertentu memulai bulan baru pada saat Bulan di kawasan itu masih di bawah ufuk, tetapi sudah terjadi konjungsi.

 

E. Ringkasan

 

          Untuk mengingat kembali intisari uraian di atas, berikut ini dikemukakan ringkasannya:

1.       Masalah manajemen sistem waktu Islam secara keseluruhan tidak hanya menyangkut masalah penetapan awal bulan apakah dengan hisab atau rukyat, tetapi juga ada masalah lain seperti konsep hari dari mana dan di mana hari itu dimulai, dan masalah garis tanggal. Dua masalah ini perlu juga mendapat perhatian dan kajian di kalangan umat Islam.

2.       Untuk masalah penetapan awal bulan kini semakin disadari bahwa kita harus menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat karena keterbatasan rukyat sebagai berikut:

a.      penggunaan rukyat tidak memungkinkan pembuatan suatu sistem kalender yang konsisten dan komprehensif karena rukyat tidak bisa meramal waktu jauh ke depan; dengan rukyat awal bulan baru bisa diketahui pada h-1,

b.      jangkauan rukyat terbatas, di mana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh maksimal sekitar 10 jam, sehingga rukyat fisik yang terjadi di kawasan barat tidak dapat dipedomani oleh kawasan ujung timur bumi karena mereka telah keburu memasuki pagi hari berikutnya,

c.       rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global; sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda memulai awal bulan kamariah karena rukyat terbatas jangkauannya sehingga pada hari yang sama ada muka bumi yang telah merukyat dan ada muka bumi yang belum dapat merukyat dengan akibat kawasan yang telah berhasil merukyat akan memulai bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, dan bagian muka bumi yang belum dapat merukyat akan menggenapkan bulan berjalan dan memulai bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan memulai tanggal.

d.      rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah bilamana di kawasan ujung barat bumi terjadi rukyat Zulhijah sementara di Mekah belum terjadi rukyat sehingga hari Arafah di Mekah jatuh bersaamaan dengan hari Iduladha di kawasan barat dan tidak boleh puasa pada hari Iduladha; begitu juga dapat terjadi bahwa di Mekah sudah terjadi rukyat sementara di kawasan ujung timur bumi belum terjadi rukyat sehingga Mekah mendahului kawasan ujung timur memasuki Zulhijah sehingga hari Arafah di Mekah jatuh bersamaan dengan tanggal 8 Zulhijah di ujung timur bumi sehingga pelaksanaan puasa Arafah berdasarkan rukyat tidak dapat ditepatkan pada momen yang seharusnya.

3.       Oleh karena itu, sebagaimana keputusan Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam  tahun 2008, mau tidak mau untuk penyatuan kalender Islam se-dunia harus digunakan hisab, tidak mungkin digunakan rukyat.

4.       Penggunaan hisab untuk penentuan bulan Hijriah termasuk bulan-bulan ibadah tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah Nabi saw, justeru sebaliknya selaras dengan semangat keduanya karena perintah rukyat dalam hadis Nabi saw itu adalah perintah berilat, yaitu diperintahkannya rukyat disebabkan oleh keadaan ummat yang masih ummi waktu itu dan belum menguasai tulis baca dan hisab, dan setelah keadaan tersebut hilang, maka perintah rukyat tidak berlaku lagi.

5.       Kini sedang dilakukan upaya perumusan kalender Islam se-dunia, namun pemikirannya masih terpola ke dalam dua konsep, yaitu kalender bizonal dan kalender terpadu; namun demi menghindari problem pelaksanaan puasa Arafah yang timbul akibat menerapkan kalender bizonal, maka pilihan kita tidak lain adalah kalender terpadu dengan prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia.



·Makalah disampaikan pada acara Apresiasi Hisab-Rukyat Muhammadiyyah majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diselenggarakan Selasa 13 Jumadil Akhir  1432 H / 17 Mei  2011 M bertempat di Kantor PP Muhammadiyah Cik Ditiro, Yogyakarta.

[1]Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakatra: Balai Pustaka, Departeman Perndidikan Nasional, 2005), h. 405, kata ‘hisab’.

[2]Al-Bukh±r³, ¢a¥³¥ al-Bukh±r³ (Ttp.: D±r al-Fikr, 1994/1414), II: 281, hadis no. 1913, “Kit±b a¡-¢aum,” dari Ibn ‘Umar; Muslim, ¢a¥³¥ Muslim (Beirut: D±r al-Fikr, 1992/1412), I: 482, hadis no. 1080:15, “Kit±b a¡-¢iy±m,” dari Ibn ‘Umar. 

[3] Al-Bukh±r³, ¢a¥³¥ al-Bukh±r³ (Ttp.: D±r al-Fikr, 1994/1414), II: 278-279, hadis no. 1900, “Kit±b a¡-¢aum,” dari Ibn ‘Úmar; Muslim, ¢a¥³¥ Muslim (Beirut: D±r al-Fikr, 1992/1412), I: 481, hadis no. 1080:8, “Kit±b a¡-¢iy±m,” dari Ibn ‘Umar.

[4] Al-Bukh±r³, op. cit., II: 280, hadis no. 1906, “Kit±b a¡-¢aum,” dari Ibn ‘Umar; Muslim, op. cit., I: 481, hadis no. 1080:1, “Kit±b a¡-¢iy±m,” dari Ibn ‘Umar.

[5]Pedoman Hisab Muhammadiyah, edisi ke-2, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1430/2009, dapat diunduh pada situs www.muhammadiyah.or.id.

[6]Mu¥ammad Rasy³d Ri«±, “Penetapan Bulan Ramadan dan Pembahasan tentang Penggunaan Hisab,” dalam Mu¥ammad Rasy³d Ri«± dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar’³ tentang Penetapan Awal Ramada, Syawal dan Zulhijah, edisi ke-2 (Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, 2009), h. 23; Mu¡¯af± az-Zarq±, “Tentang Penentuan Hilal dengan Hisab pada Zaman Sekarang,” dalam Mu¥ammad Rasy³d Ri«±, Hisab., h. 35; Y­suf al-Qara«±w³, “Rukyat Hilal untuk Menentukan Bulan,” dalam Mu¥ammad Rasy³d Ri«±, Hisab, h. 68.

[7]Mu¡¯af± az-Zarq±, “Tentang”, h. 43-44.

[8]Mu¥ammad Rasy³d Ri«±, “Penetapan,” h. 22.

[9]Mu¡¯af± az-Zarq±, “Tentang”, h. 37.

[10]Y­suf al-Qara«±w³, “Rukyat”, h. 60 dan 61.

[11]Dikutip oleh Y­suf al-Qara«±w³, ibid., h. 75.

[12]Ibn Daq³q al-‘´d,I¥k±m al-A¥k±m Syar¥ ‘Umdat al-A¥k±m, edisi Muamm¥ammad ¦±mid al-Faqq³ dan A¥mad Mu¥ammad Sy±kir (Kairo: Ma¯ba‘ah as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1953/1372), II: 4.

[13]Ni«±l Qas­m dkk., I£b±t asy-Syuh­r al-Hil±liyyah wa Musykil±t at-Tauq³t al-Isl±m³ (Beirut: D±r a¯-°al³‘ah li a¯-°ib±‘ah wa anj-Nasyr, 1997), h. 11.

[14]Idris Ben Sari dalam kata pengantarnya terhadap Jam±ludd³n ‘Abd ar-R±ziq, at-Taqw³m al-Qamar³ al-Isl±m³ al-Muwa¥¥ad (Rabat: Marsam, 2004), h. 7.

[15]Lingkaran Artika adalah sebuah garis lingkaran imajiner yang sejajar dengan garis lintang yang menandai bagian paling selatan dari arah kutub utara ke selatan di mana siang pada musim panas berlangsung 24 jam lebih (tidak ada malam, suatu siang disambung dengan siang berikutnya) atau malam berlangsung 24 jam lebih. Dengan kata lain matahari tidak pernah terbit pada musim dingin dan tidak pernah terbenam pada musim panas. Pada tahun 2009 garis Lingkaran Artika itu paralel dengan garis lintang utara 66º 33’ 39”. Lingkaran Artika itu tidak tetap, melain bergeser sesuai dengan perubahan kemiringan sumbu bumi. Mengenai Lingkaran Artika lihat “Arctic Circle,” <http://fairbanks-alaska.com/arctic-circle.htm>, akses 26-06-2009.    

[16] Lihat April Holladay, “Seeing the Moon from the Poles,” <http://www.wonderquest.com/ PolarMoon.htm>, akses 17-06-2009; dan idem., “People on the South Poles Don’t See a New Moon Either,” <http://www.wonderquest.com/ south-pole-new-moon.htm>, akses 17-06-2009.

[17]An-Nawaw³, Syar¥ ¢a¥³¥ Muslim (Beirut: D±r I¥y±’ at-Tur±£ al-‘Arab³, 1329 H), VII: 197.

[18]Dimuat dalam az-Zu¥ail³, al-Fiqh al-Isl±m³ wa Adillatuh (Damaskus: D±r al-Fikr, 1425/2004), VII: 5102.

[19]Jam±ludd³n ‘Abd ar-R±ziq, “Yaum al-Wuq­f bi ‘Arafah Syarqan wa Garban,” makalah lampiran surat dari Jam±ludd³n kepada Syamsul Anwar (dokumen pribadi).

[20]Mengenai perihal rukyat Arab Saudi untuk beberapa dasawarsa terakhir lihat Syamsul Anwar, Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2008), h. 43-59.

[21]“Ijtim±’ al-Khubar±’ a£-¤±n³ li Dir±sat Wa«’ at-Taqw³m al-Isl±m³: at-Taqr³r al-Khit±m³ wa at-Tau¡iyyah,” (Kesimpulan dan Rekomendasi Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumkusan Kalender Islam), dokumen pribadi, dan untuk terjemahannya lihat Mu¥ammad Rasy³d Ri«±, Hisab, h. 79-87.

[22]“Official First Day in Different Countries,” (Shawal 1429 AH), http://www.icoproject. org/icop/shw29.html#day,akses 21-08-2010.

[23]“Official First Day in Different Countries,” (Shawal 1430 AH), http://www.icoproject. org/icop/shw30.html#day, akses 21-08-2010 M.

[25]Mohammad Ilyas, New Moon’s Visibility and International Islamic Calendar for the Asia Pasific Rigion, 1407 H ­– 1421 H (Penang, Malaysia: University of Science Malaysia, 1414/1994), h. 40.

[26]Ni«±l Qas­m dkk., I£b±t, h. 119-120.

[27]Muhammadi Syaukat ‘Audah, “Ta¯b³q±t Tekn­l­jiy± al-Ma‘l­m±t li I‘d±d Taqw³m Hijr³ ‘²lam³,” makalah disampaikan dalam International Symposium “Toward a Unified International Islamic Calendar,” yang diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah di Jakarta 4-6 September 2007, h. 7.

[28]Ni«±l Qas­m, “²khir al-Muqtara¥±t li ¦all Musykilat at-Taqw³m al-Isl±m³,” dalam Ta¯b³q±t al-¦is±b±t al-Falakiyyah f³ al-Mas±’il al-Isl±miyyah, diedit oleh Mu¥ammad ‘Audah dan Ni«±l Qas­m (Abu Dhabi: EAS, CDR, ICOP, 2007), h. 94.

[29]Penjelasan penulis (Jam±ludd³n).

[30]Lihat Syamsul Anwar, “Korespondensi Kalender Hijriah Internasional: Dari Jam±ludd³n kepada Syamsul Anwar,” http://www.muhammadiyah.or.id/Kalender-Islam-/-Falak/View-category.html, akses 22-08-2010. 

[31]Lihat Syamsul Anwar, “Dari Syamsul Anwar kepada Jam±ludd³n: Korespondensi Kalender Hijriah Internasional,” http://www.muhammadiyah.or.id/View-document-details/7-Korespondensi-Kalender-Hijriyah-Internasional-Dari-Syamsul-Anwar-kepada-Jamaluddin.html. Catatan: Ada kekeliruan penulisan tanggal surat dalam terjemahan ini di mana tertulis tanggal 12-11-2009. Yang benar tanggal 11-12-2009.

[32]Rasy³d Ri«± dkk., Hisab, h. 83.

[33]Ibid., h. 84.


Tags: hisab , tarjih , muhammadiyah
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website